Hakikat
Ilmu
Ilmu adalah landasan dari segala
hal yang mulia, serta titik tumpu dari setiap maqam (derajat) spiritual yang
tinggi. Oleh karena itulah Rasulullah Sang Nabi suci (semoga kedamaian tercurah
atasnya dan atas keluarganya) bersabda,
“Telah
menjadi kewajiban bagi seluruh Muslim, laki-laki dan perempuan, untuk menuntut
ilmu.”
Ilmu yang dimaksud adalah ilmu
yang menunjang ketaqwaan serta memperkokoh keyakinan. Sang Nabi suci, Muhammad
(semoga kedamaian tercurah atasnya dan atas keluarganya) bersabda,
“Barangsiapa
mengenal dirinya, niscaya dia akan mengenali Tuhannya.”
Namun meskipun begitu, kalian
semua harus tahu bahwa sekedar memperoleh pengetahuan saja tanpa ada pengamalan
tidaklah dibenarkan, disamping itu diperlukan keikhlasan dalam mengamalkan
ilmu.
Sang Nabi suci, Muhammad (semoga
kedamaian tercurah atasnya dan atas keluarganya) dalam munajatnya bersabda,
“Yaa
Allah, kami berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.”
Kita semua berlindung dari ilmu
yang tidak disertai pengamalan serta dari amal yang tidak disertai keikhlasan.
Ketahuilah wahai murid-murid yang
aku kasihi, ilmu yang sedikit akan menuntut pengamalan yang banyak, karena ilmu
ukhrawi (spiritual) menuntut seseorang untuk beramal sepanjang hidupnya.
Nabiyullah Isa (semoga kedamaian
tercurah atasnya) berkata, “Pada sebuah batu aku lihat ada tulisan yang
berbunyi “Balikkanlah aku” maka aku membalikkan batu itu. Dibalik batu tersebut
tertulis
“Barangsiapa
yang tidak mengamalkan ilmu yang diketahuinya niscaya dia akan menyesal, dan
ilmu itu akan berbalik menuntutnya.”
Allah SWT Berfirman kepada Nabi
Daud (semoga kedamaian tercurah atasnya),
“Balasan
yang Aku timpakan kepada orang yang tidak mengamalkan ilmunya adalah lebih
berat daripada tujuh puluh siksaan batin, yakni Aku akan mencabut kenikmatan
berdzikir dari hatinya.”
Ketahuilah, tidak ada jalan
menuju Allah kecuali dengan ilmu, dan ilmu adalah perhiasan manusia di alam
dunia ini serta kendaraan yang akan membawanya ke surga, kemudian jika seorang
manusia memperoleh hakikat ilmu maka Allah Ta’ala akan melimpahkan keridhaan-Nya
kepada orang itu.
Orang yang mengetahui hakikat
ilmu adalah dia yang amal shalehnya, kesucian munajatnya, kejujurannya, serta
ketaqwaannya yang berbicara. Bukan orang yang hanya berbicara melalui mulutnya,
pandai berdebat, pintar berdiskusi, atau orang yang mengeluarkan
pengakuan-pengakuan.
Sebelum masa sekarang ini, para
penuntut ilmu adalah mereka yang mempergunakan akal sehatnya, orang-orang yang
shaleh, bijaksana, rendah hati, dan senantiasa waspada. Namun yang kita
saksikan pada masa sekarang ini, para penuntut ilmu tidaklah memiliki
karakter-karakter tersebut.
Orang yang berilmu membutuhkan
kecerdasan, keramahan, kesetiaan, kefasihan, kasih sayang, kesabaran,
kesederhanaan, serta totalitas. Sementara itu orang yang belajar membutuhkan
hasrat yang tulus terhadap ilmu, cita-cita yang luhur, pengorbanan (waktu,
biaya dan energi) keshalehan, kewaspadaan, daya ingat, dan keteguhan hati.
Ketahuilah,
tidak ada rangkaian berkah dan manfaat yang lebih menguntungkan dibandingkan
dengan rangkaian berkah dan manfaat yang akan tercurah kepada hamba yang
menundukkan pandangannya.
Hal
ini terjadi jika sang hamba memelihara agar pandangannya tidak tertuju kepada
sesuatu yang diharamkan serta tidak disukai Allah, kecuali jika tajalli
keagungan dan keindahan telah bersemayam dihati hamba. (Maksud Imam adalah jika
seorang hamba yang hatinya telah dirahmati oleh Allah, maka meskipun
pandangannya tertuju kepada hal-hal yang tidak baik niscaya hal itu tidak akan
mempengaruhi kondisi batin sang hamba. Atau hamba itu melihat sesuatu yang
haram dengan tujuan untuk memperbaikinya. Misalnya saja jika seorang hamba
melihat perempuan yang membuka auratnya, namun hamba itu tidak tergoda malahan
memberikan nasihat kepada si perempuan itu yang dengan rahmat Allah perempuan itu
akan menjadi sadar)
Pemimpin kaum beriman, Imam Ali
bin Abi Thalib (Semoga kedamaian tercurah kepadanya) pernah ditanya apakah hal
yang dapat membantu kita memelihara pandangan, kemudian beliau berkata “Memohon
bantuan sambil menghinakan diri ke haribaan Dia Yang mengetahui segala
rahasiamu yang baik maupun yang buruk, serta senantiasa mengawasimu.”
Ketahuilah, sesungguhnya mata
adalah pengawas hati dan utusan akal, oleh karena itu peliharalah pandanganmu
dari segala sesuatu yang dapat mempengaruhi keimananmu, segala sesuatu yang
tidak disukai hatimu karena dapat merusaknya (hati), serta hal yang ditolak
oleh akal karena dapat mengganggu.
Sang
Nabi suci (Semoga kedamaian tercurah atasnya dan kepada keluarganya) bersabda,
“Tundukkan (pelihara) pandanganmu, niscaya engkau akan menyaksikan
keajaiban-keajaiban spiritual.”
Allah
Ta’ala Berfirman :
“Katakanlah
kepada laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan
memelihara kemaluannya.”
(Qur’an
surah an Nur ayat 30)
Nabiyullah
‘Isa (semoga kedamaian tercurah atasnya) berkata kepada para pengikutnya,
“Berhati-hatilah kalian dari memandang hal-hal
yang dilarang, karena hal itu adalah benih-benih syahwat dan dapat menumbuhkan
pohon kefasikan.”
Nabiyullah
Yahya (semoga kedamaian tercurah atasnya) berkata,
“Lebih baik aku mati daripada terlena dalam
menyaksikan hal-hal yang buruk.”
Sahabat
Abdullah bin Mas’ud pernah berkata kepada seseorang yang matanya terbelalak
ketika menjenguk seorang perempuan yang sedang sakit,
“Lebih baik engkau kehilangan matamu daripada
melihat seorang perempuan sakit dengan penuh syahwat.”
Setiap kali seseorang memandang
hal-hal yang dilarang, maka pada saat itu hasrat buruk terikat dihati dan
mengotorinya. Ikatan itu hanya bisa diputuskan oleh dua sebab, yang pertama
adalah tangis penyesalan dan bertaubat dengan sungguh-sungguh, atau yang kedua
adalah menyadari kesalahan perbuatannya dan menebusnya dengan amal baik.
Dan jika orang itu tidak
sungguh-sungguh menyadari dan menebus perbuatan buruknya, maka tempat
kembalinya adalah neraka. Sedangkan bagi mereka yang bertaubat dengan
sungguh-sungguh maka balasannya adalah dimasukkan kedalam taman kebahagiaan, di
tempat yang diridhai oleh Allah SWT.
Barangsiapa
yang menjaga hatinya dari kelalaian dalam berdzikir, melindungi dirinya dari
jerat syahwat, serta menjaga akalnya dari penyimpangan, dia akan dikelompokkan
kedalam golongan mereka yang hidup hatinya. Kemudian bagi mereka yang menjaga
diri dari memanfaatkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk kepentingan
pribadi, yang memelihara keimanannya dari bid’ah-bid’ah yang merusak, serta
memelihara hartanya dari sesuatu yang haram, maka dirinya akan dikelompokkan kedalam golongan orang-orang yang shaleh.
Rasulullah (semoga kedamaian
tercurah atas diri beliau dan keluarganya) bersabda,
“Menuntut
ilmu adalah kewajiban setiap laki-laki dan perempuan yang beriman.”
Ketahuilah bahwa ilmu yang
dimaksud dalam hadits itu yang paling utama adalah ma’rifat an nafs (ilmu
pengetahuan tentang hakikat diri manusia), ilmu yang membawa manusia agar dapat
bersyukur kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu sangatlah penting bagi semua
manusia, agar dalam setiap kondisi hidupnya senantiasa memanjatkan puji syukur
ke Hadhirat Ilahi dan memohon ampunan dari kelalaiannya dalam bersyukur.
Dan
ketahuilah jika Allah menerima syukur seorang hamba maka itu berarti Dia
berkenan melimpahkan karunia-Nya kepada sang hamba. Namun jika syukur seorang
hamba ditolak, maka hal itu berarti Allah berkehendak untuk menampakkan sifat
Maha Adil (agar sang hamba berusaha lebih keras lagi untuk dapat bersyukur).
Setiap
orang harus menyadari pentingnya bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah
dan mengungkapkan rasa syukur, serta bersungguh-sungguh dalam menjaga diri dari
melakukan dosa, serta menjauhi penyebab-penyebab kemaksiatan.
Untuk
mencapai kondisi seperti itu, dasarnya adalah engkau harus menyadari kemudian
mengungkapkan kebutuhan serta kebergantunganmu secara total kepada Allah
Ta’ala, bahwa engkau membutuhkan perhatian Allah, dan bahwa ketaatan kepada
Allah adalah kebutuhanmu.
Dan kunci dari semuanya itu
adalah pemasrahan dirimu kepada Allah, menghapuskan angan-angan dan khayalanmu
dengan banyak mengingat kematian, serta menumbuhkan kesadaran bahwa dalam
setiap saat sesungguhnya engkau sedang berdiri dihadapan Yang Maha Perkasa.
Dengan melakukan hal ini engkau
akan terbebaskan dari jerat-jerat syahwatmu, engkau akan terselamatkan dari
musuh-musuhmu, dan jiwamu akan dianugerahi kedamaian.
Hakikat dari ketulusan dalam
beribadah adalah suatu harmoni yang selaras (antara hati, ucapan, dan
perilaku), dan tangga menuju kemerdekaan spiritual adalah engkau mensikapi
hidupmu seakan-akan ini adalah hari terakhir yang engkau jalani.
Rasulullah (semoga kedamaian
tercurah atas diri beliau dan keluarganya) bersabda,
“Sesungguhnya
kehidupan dunia itu hanyalah sesaat. Maka jalanilah hidupmu dengan ketaatan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Gerbang
kepada kebebasan spiritual ini adalah senantiasa berkhalwat menjauhkan diri
dari keduniawian, serta bertafakur secara terus-menerus melakukan perenungan
mengenai kesementaraan dunia ini.
Adapun
inti dari khalwat adalah merasa cukup dengan apa yang telah engkau terima, dan
meninggalkan hal-hal yang tidak memiliki manfaat bagi jiwamu. Sedangkan hakikat
dari tafakur adalah mengosongkan diri dari hasrat dan keinginan rendahmu, yang
merupakan tiang dari kezuhudan.
Sempurnanya
zuhud adalah ketaqwaan, dan gerbang dari ketaqwaan adalah rasa takut kepada
Allah, yang dibuktikan dengan banyak mengagungkan Allah Ta’ala, istiqamah
menaati-Nya dengan tulus, serta merasa takut dan waspada agar tidak melakukan
hal-hal yang dilarang.
Ketahuilah
semua maqam spiritual ini hanya dapat dilalui jika dirimu dibimbing oleh ilmu
(memiliki seorang pembimbing spiritual),
Allah
Yang Maha Besar Berfirman,
“Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah mereka yang
berilmu.”
(Qur’an surah Fathir ayat 28)
(Qur’an surah Fathir ayat 28)
EmoticonEmoticon