Timbulnya dorongan dari dalam diri manusia sangat berhubungan dengan ilmu dan kemampuan indera yang dimilikinya. Pilihan yang dijatuhkan manusia tergantung pada ilmu dan kemampuan inderanya. Dengan demikian, dari satu sisi, dapat dikatakan bahwa bukanlah saya yang menciptakan diri saya, bukan saya yang mendatangkan pengetahuan itu kepada diri saya, bukan saya yang mengendalikan setiap ajakan yang menyeru saya dan bukan pula saya yang menjadikan saya menyukai atau memandang indah sesuatu. Dari sudut pandang seperti ini, seakan-akan hamba dipaksa (mujbar), padahal sebenarnya tidaklah demikian. Orang yang menyatakan bahwa dalam segala hal manusia dipaksa (mujbar) maka pendapatnya tersebut memiliki banyak kelemahan. Jika kemudian ada yang menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menciptakan dan mengatur segala sesuatu tanpa izin Allah, maka pendapat ini juga memiliki banyak kelemahan, meskipun dari sudut pandang tertentu tampak demikian. Jika ada yang menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk berusaha, dari sudut pandang tertentu memang tampaknya demikian, akan tetapi jika kita lihat dzat manusia dan kemampuannya berusaha, maka ia tidak dapat melakukan semua itu tanpa izin Allah. Dengan demikian pendapat ini juga memiliki kelemahan. Jika dari sudut pandang tertentu manusia tampak dipaksa, dari sudut pandang yang lain tampak diberi kebebasan sedangkan dari sudut pandang yang lain lagi ia dapat menentukan usahanya, lalu yang benar bagaimana? Sebenarnya jika digabungkan menjadi satu, semua pendapat di atas adalah benar. Akan tetapi, jika dipisah-pisahkan, maka pendapat tersebut menjadi tidak benar. Lalu bagaimana penjelasannya? Simaklah contoh di bawah ini:
Ada sekelompok tunanetra mendengar bahwa di sebuah kota ada seekor hewan yang menakjubkan yang disebut gajah. .Mereka sepakat untuk mengetahui dan menyaksikan binatang tersebut. 1 Sebelumnya mereka tidak pernah mendengar namanya, tidak pernah mengetahuinya, tidak pernah tahu bagaimana bentuknya. Mereka sepakat untuk mengenali gajah tersebut dengan sentuhan tangan mereka. Maka berangkatlah para tunanetra itu ke kota yang dimaksud untuk menemui si gajah. Tangan tunanetra pertama menyentuh kakinya, tunanetra kedua meraba gadingnya, tunanetra ketiga menyentuh telinganya. Setelah itu mereka masing-masing menjelaskan bagaimana bentuk gajah tersebut.
Tunanetra pertama ditanya, “Kamu sudah menyentuh gajah itu?”
“Sudah,” jawabnya.
“Kamu sudah dapat mengenalinya.”
“Sudah.”
“Coba jelaskan kepada kami bagaimana bentuk gajah itu.”
Tunanetra pertama yang telah menyentuh kaki berkata, “Gajah itu seperti tiang yang kasar permukaannya.”
Tunanetra kedua yang telah meraba gading berkata, “Gajah tidak seperti yang dia katakan. Gajah itu keras, tidak lembut, licin, tidak kasar, akan tetapi ia benar mirip dengan tiang.”
Sedangkan tunanetra yang ketiga yang meraba telinga berkata, “Gajah memang lembut dan agak kasar, akan tetapi dia tidak seperti tiang. Tetapi ia seperti kulit yang tebal dan lebar.”
Pernyataan ketiga tunanetra ini benar dari satu sisi, semua yang mereka sebutkan memang ada pada tubuh gajah. Akan tetapi karena keterbatasan pada diri mereka, maka mereka tidak dapat mengenali rupa gajah yang sebenarnya. Dan perumpamaan ini sangat tepat untuk menggambarkan berbagai perbedaan pendapat masyarakat dalam permasalahan ini. Seandainya mereka mau menyerahkan permasalahan ini kepada para Nabi dan Rasul, maka akan beres. Mereka akan mengetahui yang sebenarnya, akan mengetahui untuk apa mereka diciptakan. Akan tetapi, demikianlah hikmah Allah di dalam penciptaan alam semesta ini.
Allah Ta’ala mewahyukan:
ولو شئنا لأتينا كل نفس هداها ولكن حق القول منى لأملأن جهنم من الجنة والناس أجمعين .13 .
Dan kalau kami menghendaki niscaya kami akan berikan kepada tiap- tiap jiwa petunjuk, akan tetapi Telah tetaplah perkataan dari padaKu: “Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama.” (As-Sajdah, 32:13)
Sumber: Obat Hati 1 Saduran Ceramah Al Habib Umar bin Hafidz
dari: http://www.alhabibahmadnoveljindan.org
EmoticonEmoticon