Kalau membicarakan NU, tidak lepas dari
Gus Dur, KH. Wahid Hasyim dan Hadrotush syaikh Kyai Hasyim Asy’ari. Beliau
beliau ini adalah orang orang mulia yang sukanya memuliakan orang lain. Suatu
ketika Kyai Hasyim Asy’ari sedang melakukan perjalanan dari jawa bagian barat
ke arah jawa timur, beliau singgah di Tegal dan mengunjungi koleganya yaitu
Kyai Ubaidillah Pegiren (Kyai Ubed).
Sebagaimana dua alim bertemu, beliau
berdua sholat bersama, dzikir bersama, makan dan berdiskusi. Hingga
tiba saatnya, Kyai Hasyim berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya.”saya
ucapkan banyak terimakasih yai, saya disini sudah cukup istirahat” kata Kyai
Hasyim “saya juga berterimakasih,yai berkenan singgah di gubug saya” jawab Kyai
Ubed.
“oiya kyai, maaf ada yang hendak
saya tanyakan. bagaimana hukum warisnya jika si fulan meninggal sedang dia
punya anak a,b,c,d,e lalu si anak yang b ini meninggal sedangkan waris belum
dibagi. Menurut Imam Nawawi begini, sedang Ibnu Hajar al-Asqolani begitu, mana
yang lebih tepat untuk di terapkan? tanya Kyai Hasyim.
”nyuwun maaf yai, apakah pertanyaan tadi
sudah diniatkan untuk ditanyakan kepada saya sejak dari Jombang?” jawab kyai
ubed.
“maaf,belum yai” ujar Kyai Hasyim.
“monggo saya persilakan yai meneruskan
perjalanan.dan meniatkan pertanyaan tadi sejak dari Jombang. Insya Allah
jawabannya maslahat yai” jawab Kyai Ubed lagi.
“nggih,Insya Allah yai” ujar Kyai Hasyim.
Demikian luar biasa adab mbah Kyai
Hasyim Asy’ari ini, beliau seorang yang sudah dikenal sangat luas memiliki
derajat tinggi tetapi tidak meletakkan dirinya lebih tinggi dari orang
lain-kyai lain, tidak membantah, tidak berargumen dengan Kyai Ubed, inilah
sikap tawadlu yang mesti kita contoh dan mengajari kita bagaimana adab untuk
bertanya atau memiliki "niat" kepada seorang Guru. Harus diniati dari
rumah.
KISAH MAULANA HABIB LUHTFI
Hal ini pun pernah dialami oleh guru
kita Abah Mawlana al-Habib Luthfi bin Ali bin Yahya, Pekalongan. ketika itu
Beliau berniat untuk urusan dagangan ke Bandung dari Pekalongan, di perjalanan
terlintas untuk "mampir" ke gurunya, seorang Waliyullah, Sulthanul
Awliya al-Habib Ahmad bin Ismail bin Yahya,
Arjawinangun, Cirebon. karena perjalanannya memang melewati kediaman beliau.
BACA JUGA:
ketika tiba Beliau disambut oleh sang
Guru, dan langsung ketika duduk al-Habib Ahmad berkata, "teruskan saja
dulu urusanmu nak, kalau mau kesini, pulang dulu niat dari rumah baru
kesini." Abah al-Habib Luthfi langsung 'paham' kemana arah pembicaraan
gurunya, al-Habib Ahmad bin Yahya. akhirnya langsung pamit dan menyelesaikan
urusannya terlebih dahulu. kalimat 'mampir' menjadi catatan khusus, terutama
urusan kepada guru, maupun ziarah para Wali. jadikan beliau-beliau itu
terhormat dan muliakan, jika ingin mulia.
Beliau pun melanjutkan nasehatnya, seperti zaman sekarang orang kebanyakan
mau umrah ziarah ke Madinah menjadi banyak yang kurang 'manfaat'-nya, dan juga
akhirnya jarang di 'temui' Kanjeng Nabi, hal ini tiada lain karena kurangnya
'adab', kalau mau umrah lebih baik langsung umrah datang dulu ziarah ke
Rasulullah trus ke Mekkah untuk Umrah baru silahkan mau ziarah-ziarah ke tempat
lain, ke Turki, ke Syam, ke Mesir atau ke Hadhramaut. Jangan jadikan 'mampir'
ke Rasulullah, jadikan Beliau tujuan utama, sehingga kamu akan mendapatkan
keutamaan.
Jangan Lupa share ya
BACA JUGA:
Sumber: Pustaka Pejaten
EmoticonEmoticon