Kisah
ini semata-mata hanya untuk menambah kecintaan dan ketaatan pada guru (Abah
Maulana Habib Luthfi bin Yahya), juga berharap sesama murid beliau agar saling
mengenal. Semoga semua dalam jalinan rahmat Allah Swt. Aamiin.
1. Mbah Toyik Kudus dan
Habib Ali Mayong
Mbah
Toyik (KH. Thoriq), kyai asal Kota Kudus Jawa Tengah. Beliau kakak
seperguruanku di tempat Abah, berperawakan kurus dan berkacamata. Kalau pergi
ke Kudus, saya (Idrus Yahya) mampir ke rumah beliau.
Ramah bersahabat dan ilmunya dalam namun tawadhu’ luar biasa, maka saya pribadi
menganggap beliau sebagai guru. Apa-apa yang diajarkan Habib Luthfi bin Yahya
(kala saya berhalangan ngaji) beliau sampaikan, dengan bahasa yang sederhana
namun mengena.
Adapun
ikhwal kyai “khos” ini menjadi murid Habib Luthfi bin Yahya adalah dimulai dari
kisah seorang mursyid tua kala itu, Habib Ali Mayong. Dijuluki Mayong karena
berasal dari kota Mayong, Jepara.
Alkisah
pada suatu hari, sang guru mengajak muridnya (Kyai Thoriq) untuk diajak ke
Pekalongan (pertama kali sang kyai dikenalkan Abah). Dengan menaiki becak
langganan, Habib Ali Mayong berkata: “Pak, anter nggih teng
Pekalongan.” (Pak, antarkan ke Pekalongan).
Tentu
saja tukang becak terbelalak: “Ampun Bib, kulo mboten
sagah” (Maaf Bib, saya tidak sanggup).
Habib
Ali tersenyum lalu berucap: “Wis Sampeyan asal
nggenjot ora usah mikir, mengko nek ora kuat mandeg kemawon” (Sudah tidak usah dipikir. Asal kayuh saja, ntar kalau capek berhenti).
Satu,
dua perlahan dikayuh pedal becak dan meluncur ke arah Demak menuju Pekalongan.
Kadang si tukang becak dihibur oleh Habib Ali dengan diajak ngobrol. Tak berapa
lama, Habib Ali berkata: “Belok kanan nyebrang
Pak.”
Tukang
becak pun melihat kiri dan kanan kemudian menyebrang. Lalu sampai di gang,
Habib Ali memberi aba-aba untuk berhenti. “Niki pundi Bib, terose
ajeng teng Pekalongan kok mandap mriki?” (Ini daerah mana Bib,
katanya mau ke Pekalongan kok turun di sini?) Tanya tukang becak.
Habib
Ali menunjuk salah satu plang toko yang bertuliskan alamat dan nama jalan.“Lha
iku wis tekan Pekalongan” (Lha itu sudah sampai
Pekalongan), jawab Habib Ali.
Dengan
penasaran tukang becak bergumam: “Duh Gusti, lha nggih pun
dugi Pekalongan. Kok mboten kroso kulo?” (Ya Tuhan, lha benar
sudah sampai Pekalongan. Kok tidak berasa ya?).
“Sampeyan
nunggu mriki, nggih. Ki nek arep wedangan” (Kamu tunggu di sini ya.
Ini kalau mau beli minum atau camilan), sambil menyerahkan uang.
Di
kediaman, Habib Luthfi bin Yahya sudah selesai masak dan membuat hidangan.
Rupanya Habib Luthfi bin Yahya juga merasa kalau ada salah satu guru yang akan
berkunjung ke rumah beliau. Ucap salam Habib Ali bertemu Habib Luthfi bin Yahya,
pelukan dan beramah tamah. Kemudian disampaikan maksud bahwa beliau (Habib Ali)
dapat petunjuk untuk mengajak muridnya ke tempat Habib Luthfi.
Habib
Luthfi bin Yahya menjawab: “Yo wis kersane Pengeran,
siapa yang ditakdirkan Allah untuk membaiat sang murid (Kyai Thoriq). Anda atau
saya?”
Habib
Ali tersenyum dan setuju. Giliran pertama Habib Ali memberi aurad (wiridan) singkat, sang murid melaksanakan. Satu jam berlalu dengan
khusyuk sang murid ditanya gurunya (Habib Ali): “Bagaimana Kyai, sudah ada
isyarat?”
Kyai
Thoriq menggeleng sembai berkata: “Ngapunten Bib, dereng
enten pitedah” (Mohon maaf Bib, belum dapat petunjuk).
Kemudian
Habib Ali mempersilakan Habib Luthfi: “Tafadhal.” Lalu Habib Luthfi bin Yahya mendekati sang murid, perlahan memberi arahan
amalan pendek. Setelah mengikuti petunjuk Habib Luthfi bin Yahya sang murid pun
tertidur pulas. Satu jam berikutnya terbangun, sang murid tergopoh-gopoh
menghampiri gurunya (Habib Ali) yang waktu itu sedang berdialog dengan Habib
Luthfi bin Yahya. “Bib... Biib...
ngapunten.”
Rupanya
dalam mimpi, Kyai Thoriq bertemu Rasulullah Saw. sedang menggandeng pemuda di
sebelah kanannya. Sedang satu lagi ada habib duduk di bawah di samping kiri
Nabi Saw. “Haqqak hadza, tafadhal ya Habib” (Ini punyamu ya Habib), Habib Ali Mayong berkata pada Habib Luthfi bin
Yahya dengan wajah berseri.
Ternyata
mimpi itu bermakna lelaki muda tadi adalah Habib Luthfi bin Yahya yang
digandeng Baginda Nabi Saw. Sedangkan yang terduduk adalah Habib Ali Mayong.
Lalu saat itu juga dengan disaksikan Habib Ali sang gurunya, Kyai Thoriq pun
dibaiat oleh Habib Luthfi bin Yahya.
Rupanya
pertemuan di Pekalongan dengan Habib Luthfi bin Yahya adalah pertanda dari
Allah untuk sang kyai. Al-Habib Ali Shihab alias Habib Ali Mayong beberapa
minggu kemudian berpulang ke haribaanNya. Inna lillahi wainna
ilaihi raji’un. Dan yang paling
menyedihkan adalah kala Habib Luthfi bin Yahya memberi isyarah pada Kyai Thoriq
(dalam mimpi) untuk segera menemui gurunya, namun tidak segera dipenuhi. Sebab
sang kyai ragu, pertanda tersebut dari mimpinya bukan langsung disampaikan Habib
Luthfi bin Yahya. Kyai Thoriq kaget bukan kepalang, ternyata benar terjadi.
Namun beliau (sang guru) telah wafat. Di rumah duka tersebut beliau berjumpa
dengan Habib Luthfi bin Yahya yang tiba duluan.
Kyai
Thariq terkadang di pengajian Kliwonan mampir ke Habib Luthfi bin Yahya. Tapi
rutinnya tiap peringatan Maulid di Kanzus beliau selalu hadir. Sedangkan tukang
becak itu hingga kini masih hidup. Dia menjadi saksi mata semua kejadian
perjalanan Habib Ali Mayong, sebab kendaraan favorit beliau adalah becaknya.
2. Perjalalanan Haji Mbah
Toyik
Sepulangnya
ke Kudus, lalu Kyai Thoriq menemui sang istri. Sambil kebingunan beliau
menyampaikan: “Nyai, aku didawuhi Abah mangkat haji. Lha pripun ora
nyekel duit?” (Nyai, aku diwanti-wanti Abah suruh berangkat haji.
Lha bagaimana, saya tidak punya uang sama sekali).
“Wes
asal nurut bae Kyaine, mengko rak temu dalane” (Sudah, asal ngikut saja.
Siapa tahu ketemu jalannya), jawab istri beliau.
Tak
berapa lama setelah istirahat, kemudian selesai shalat Ashar beliau kedatangan
tamu. Seseorang menyampaikan maksudnya, mohon doa agar istrinya dimudahkan atau
diangkat penyakitnya. Mbah Toyik pun menenangkan tamunya, mendoakan, menghibur
dan membesarkan hatinya. Kemudian tamu pun berpamitan.
Tiga
hari berikutnya tamu itu datang lagi dengan wajah berseri. Lalu bercerita kalau
istrinya sudah agak baikan. Rencananya mereka berdua mau berangkat ke tanah
suci menunaikan ibadah haji. Sudah mengurus segalanya, namun atas petunjuk
dokter supaya istirahat dulu demi penyembuhan. Akhirnya segala keperluan
berikut surat-surat, tiket, akomodasi penginapan, visa atau paspornya diurusin
tamu tadi untuk Mbah Toyik. Beliau hanya tinggal mencari uang saku saja.
Seketika beliau kaget, hingga tamunya pergi masih tidak percaya.
Diceritakannya
kejadian tersebut pada istrinya. “Alhamdulillah Nyai, sido
mangkat haji. Mengko sangune gampang lah” (Alhamdulillah Nyai,
terkabul berangkat haji. Soal uang saku nanti menyusul), begitu kata beliau.
Akhirnya
segala persiapan dilengkapi dua hari sebelum beliau berangkat. Tiba-tiba ada
tamu datang lagi. Dengan memohon-mohon minta disyareati atau diikhtiari doa
agar tanahnya laku, Mbah Toyik ‘lillahi ta’ala’ menyanggupi.
Hal yang
mengejutkan terjadi lagi, tanahnya laku, beliau pun diberi komisi. Lengkap
sudah beliau berangkat, hingga dari Kudus bareng rombongan haji berangkat ke
tanah suci. Di perjalanan beliau bertemu beberapa teman baiknya. Tak disangka,
mereka (para sahabat) memasukkan amplop ke kantong saku beliau. Beliau
terlanjur bahagia hingga tidak dihitung, asal pindahin ke tas karena numpuk di
kantong. Yang pada akhirnya jumlah isi amplop itu mencapai jutaan.
BACA JUGA:
ADAB BERDISKUSI YANG BAIK, TERMASUK DI MEDSOS
DASAR MENDIDIK ANAK YANG BENAR
BACA JUGA:
ADAB BERDISKUSI YANG BAIK, TERMASUK DI MEDSOS
DASAR MENDIDIK ANAK YANG BENAR
Sumber: Pustaka Pejaten
EmoticonEmoticon