Sementara itu Lembah Samawah,
yaitu lembah yang terletak di Gurun Sahara, nan jauh dari keramaian, tiba-tiba
mengeluarkan sumber air yang melimpah ruah. Padahal sebelum itu tiada suatu
genangan air pun untuk minum musafir yang kehausan.
Syaikh
Mutawalli Asy-Sya‘rawi, dalam kitab ‘Ala Maidah al-Fikr al-Islami,
menuturkan, “Banyak peristiwa menakjubkan terjadi di saat-saat kelahiran Nabi
SAW. Malam Maulid Nabi SAW tidaklah sama dengan malam-malam maulid seluruh
individu alam semesta. Allah SWT telah menciptakan berbagai kejadian di antara
alam semesta agar terangkai keharmonisan antara berbagai bentuk wujud pada
alam semesta yang bertasbih kepada Allah SWT dengan manusia.”
Bahagia dan suka ria
berdatangan merasuki qalbu
Menyambut datangnya kekasih Allah
pembawa anugerah bagi seluruh manusia
Mahaagung Dia
Yang telah memuliakan wujud ini
dengan nur berkilauan
Meliputi semua semesta
dengan keriangan dan keindahan
Mencapai tingkat keindahan tertinggi
menjulang mengangkasa
Dengan kemuliaannya
mata memandang penuh damba
Bentuk insan sempurna
pengikis segala yang sesat
Meski sesungguhnya
keluhuran dan kesempurnaannya
melampaui segala yang bisa dicapai
pengetahuan yang mana pun jua
Demikianlah
Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi menggubah bait-bait qashidah ini
dalam kitab Maulidnya, Simthud Durar, yang sudah termasyhur.
Bait-bait
ini dan semacamnya yang tertuang dalam kitab-kitab Maulid adalah gubahan
kerinduan dan kebahagiaan terdalam dari hati-hati yang selalu merindu dalam
setiap hentakan napasnya, rindu yang terdalam dan terindah, kepada makhluk
termulia, wujud pancaran nur dan asrar Ilahiah di alam semesta, Baginda Nabi
Muhammad SAW.
Sesungguhnya
Rasulullah SAW datang untuk mengembalikan keharmonisan antara manusia dan
segala bentuk wujud yang ada di alam semesta ini. Makna keharmonisan antara
manusia dan segala bentuk wujud adalah bahwa segala jenis wujud itu, baik yang
bernyawa maupun yang tidak, semuanya tunduk dan patuh kepada Allah SWT. Tidak
akan mungkin terjadi sesuatu dari wujud tersebut kecuali sebagaimaa apa yang
dikehendaki dan diinginkan oleh Allah SWT. Akan tetapi manusia itu sendirilah
yang datang dari mereka golongan yang taat dan golongan yang durhaka.
Semua
ini telah dijelaskan Allah SWT dalam firman-Nya, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa Allah, bersujud kepada-Nya apa yang
ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan,
binatang-binatang melata dan sebagian besar dari manusia....” — QS Al-Hajj
(22): 18.
Itu semua adalah jenis-jenis
wujud yang senantiasa sujud dan tunduk kepada Allah SWT, keseluruhannya. Akan
tetapi ketika menjelaskan ihwal manusia, Allah tidak menyatakan keseluruhannya,
Allah SWT berfirman, “Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan adzab
atasnya.” — QS Al-Hajj (22): 18.
Yang
dituntut adalah terwujudnya keharmonisan antara manusia dan berbagai wujud
seluruhnya, sehingga manusia pun tunduk kepada Allah SWT sebagaimana semua
wujud tunduk kepada hukum-Nya. Wujud yang tunduk dan patuh itu mencintai
manusia yang tunduk dan patuh pula kepada hukum Allah SWT, yang merangkai
keharmonisan dan hubungan yang serasi dengan wujud-wujud itu, karena tidak
sesuatu pun di antara wujud itu yang dapat merangkainya dengan manusia.
Adapun
manusia yang durhaka, mereka justru menebarkan perpecahan antara dirinya dan
berbagai jenis wujud; wujud yang bertasbih, wujud yang sujud, wujud yang
khusyu’, dan bahkan manusia yang ingkar dan durhaka.
Pada
saat Allah SWT mengizinkan untuk mengembalikan kepada manusia
keharmonisasiannya dengan segala jenis wujud, bergembiralah segenap wujud itu
dengan lahirnya seseorang yang akan mengembalikan keharmonisasian manusia
dengan segala jenis wujud yang ada.
Itulah
peran yang ada pada Nabi SAW. Beliau datang untuk mengembalikan keharmonisan
antara manusia dan wujud seluruhnya. Beliau datang untuk membawa manhaj
terakhir sebagai petunjuk bagi manusia agar mereka patuh dan tunduk kepada
Allah SWT seperti jenis-jenis wujud lainnya di alam semesta.
Karena
itulah, tidaklah mengherankan bila segala jenis wujud itu bergembira dengan
kedatangan beliau SAW. Tidak mengherankan bila tetumbuhan bergembira,
benda-benda seluruhnya bergembira, hewan-hewan bergembira, para malaikat
bergembira, dan jin-jin yang taat pun bergembira dengan kedatangan beliau SAW.
Jadi,
bila diceritakan kepada kita bahwa Maulid Nabi SAW telah disertai dengan
berbagai peristiwa yang terjadi di alam semesta dari segala bentuk suka cita pada
wujud seluruhnya dengan kelahiran Nabi SAW, wajib bagi kita untuk tidak
menganggapnya sebagai hal yang mustahil. Karena yang datang adalah Rasul SAW
yang mengembalikan kepada manusia keharmonisannya dengan wujud seluruhnya.
Semua
jenis wujud itu memang tidaklah memiliki kehidupan seperti yang kita ketahui
dalam diri kita, akan tetapi sesungguhnya wujud-wujud itu memiliki kehidupan.
Mereka pun memiliki daya tangkap untuk menerima berbagai hal dari Allah SWT.
Dan mereka juga memiliki bahagia dan sedih. Allah telah berkehendak untuk
menunjukkan perkara ini kepada kita secara global agar kita mengetahui bahwa
alam semesta seluruhnya adalah hamba-Nya dan tunduk kepada-Nya. Allah SWT
berfirman, “Akan tetapi kamu sekalian
tidak mengerti tasbih mereka.” — QS Al-Isra (17): 44.
Peristiwa-peristiwa
agung itu begitu indah terekam dalam baris demi baris dari setiap kitab Maulid
yang menunjukkan betapa agungnya malam kelahiran Baginda Nabi SAW.
Habib
Ali Al-Habsyi merangkaikan peristiwa itu dalam paragraf-paragraf dan bait-bait
syair yang amat indah dalam kitab Maulidnya:
“Dan ketika hampir tiba
saatnya kelahiran insan tercinta ini, gema ucapan selamat datang yang hangat
berkumandang di lelangit dan di bumi. Hujan kemurahan Ilahi tercurah atas penghuni
alam dengan lebatnya. Lidah malaikat bergemuruh mengumumkan kabar gembira.
Kekuasaan Allah menyingkap tabir rahasia tersembunyi, membuat cahaya nurnya
terbit sempurna di alam nyata.
Cahaya mengungguli segenap cahaya. Ketepatan-Nya pun
terlaksana atas orang-orang pilihan, yang nikmat-Nya disempurnakan bagi
mereka, yang menunggu detik-detik kelahirannya, sebagai penghibur pribadinya
yang beruntung, dan ikut bergembira mereguk nikmat berlimpah ini. Maka
hadirlah dengan taufik Allah, Sayyidah Maryam dan Sayyidah Asiyah. Bersama
keduanya datang mengiring sejumlah bidadari surga yang beroleh kemuliaan
agung, yang dibagi-bagikan oleh Allah atas mereka yang dikehendaki.
Dan tibalah saat yang telah diatur Allah bagi kelahiran
ini. Maka menyingsinglah fajar keutamaan nan cerah, terang benderang
menjulang tinggi. Dan lahirlah insan pemuji dan terpuji, tunduk khusyu’ di
hadapan Allah, dengan segala penghormatan tulus dan sembah sujud.
Alam bersinar-binar bersuka ria
menyambut kelahiran Al-Musthafa Ahmad
riang gembira meliput penghuninya
sambung-menyambung tiada hentinya
Bergembiralah, wahai pengikut Al-Qur’an
burung-burung kemujuran kini berkicauan
bersuluhlah dengan sinar keindahan
mengungguli semua yang indah tiada bandingan
Kini wajiblah bersuka cita
dengan keberuntungan terus-menerus tiada habisnya
manakala kita beroleh anugerah
padanya terpadu kebanggaan abadi
Bagi Tuhan segala puji
tiada bilangan mampu mencakupnya
atas penghormatan dilimpahkan-Nya bagi kita
dengan lahirnya Al-Musthafa Al-Hadi, Muhammad
Ya Rasulullah,
selamat datang, ahlan wa sahlan
Sungguh kami beruntung dengan kehadiranmu
Ya Ilahi, ya Tuhan kami
semoga Kau berkenan memberi nikmat karunia-Mu
menyampaikan kami ke tujuan idaman
demi ketinggian derajat Rasul di sisi-Mu
Tunjukilah kami jalan yang ia tempuh
agar dengannya kami bahagia beroleh kebaikan, melimpah
Rabbi, demi kemuliaan kedudukannya di sisi-Mu
tempatkanlah kami di sebaik tempat di sisinya
Semoga shalawat Allah meliputi selalu
rasul termulia, Muhammad
serta salam terus-menerus
silih berganti setiap saat…
Dan pada saat Nabi SAW dilahirkan
ibunya, ia lahir seraya menunjukkan pandangan ke arah langit. Bagai isyarat ia
beroleh kemuliaan, serta kehormatan yang tinggi menjulang.
Adapun Maulid-nya hari Senin bulan
Rabi’ul Awwal. Tempat kelahiran serta makamnya di ‘Al-Haramain. Dan telah
diriwayatkan bahwa beliau dilahirkan dalam keadaan telah terkhitan. Bermata
bagaikan bercelak. Tali pusatnya telah terpotong bersih. Semua itu terlaksana
dengan kekuasaan kodrat Ilahi. Berkat keluhuran kedudukannya, di sisi Tuhannya.
Dan bersamaan dengan waktu kelahirannya,
tampak beberapa keajaiban. Membuktikan bahwa ia insan termulia, di antara semua
makhluk. Paling utama di antara yang dikasihi Allah. Sebagaimana diriwayatkan
Abdurrahman bin ‘‘Auf dari ibunya, bernama Syaffaa’ (semoga Allah meridhai
keduanya), “Pada saat Rasulullah SAW dilahirkan oleh Aminah, ia kusambut dengan
kedua telapak tanganku. Dan terdengar tangisnya pertama kali. Lalu kudengar
suara berkata, ‘Semoga rahmat Allah atas dirimu.’ Dan aku pun menyaksikan
cahaya benderang di hadapannya. Menerangi timur dan barat. Hingga aku dapat
melihat sebagian gedung orang Rum. Lalu kubalut ia dalam pakaiannya dan
kutidurkan. Namun tiba-tiba kegelapan dan ketakutan datang meliputi diriku
dari kananku. Sehingga aku menggigil karenanya. Dan kudengar suara bertanya,
‘Ke mana ia kau bawa pergi?’ ‘Ke barat!’ jawab suara lainnya. Lalu perasaan itu
menghilang dari diriku. Namun sejenak kemudian kembali lagi. Kegelapan dan
ketakutan meliputi diriku. Datang dari sebelah kiri. Hingga tubuhku menggigil
karenanya. Dan kudengar lagi suara bertanya, ‘Ke mana ia kau bawa pergi?’ ‘Ke
timur!’ jawab suara lainnya.’
Peristiwa itu melekat dalam
pikiranku. Sampai tiba saat beliau menjadi utusan Allah. Maka aku pun termasuk
di antara orang-orang pertama yang mengikutinya dalam Islam….”
Al-Allamah Ad-Diba‘i melukiskan pula dalam kitab Maulidnya yang termasyhur:
“Nabi SAW lahir dalam keadaan telah dikhitan berkat
kekuasaan Allah yang selalu memperhatikannya. Juga dalam keadaan telah bercelak
dengan celak hidayah (yang menjadi ciri khasnya). Maka bercahayalah kawasan
langit karena wibawanya. Dan seluruh alam gemerlapan serta bercahaya karena
pantulan cahayanya. Dan masuklah ke dalam akad bai’atnya (janji setianya)
semua manusia yang masih tersisa sebagaimana masuk pula ke dalam bai’atnya
semua manusia yang telah lalu.
Mula-mula keutamaan mu’jizat yang muncul ialah padamnya
api yang disembah orang-orang Persia dan runtuhnya bangunan-bangunan yang
menjulang tinggi. Setan-setan dilempari dari langit dengan bintang-bintang yang
membakar. Dan kembalilah semua jin yang berangkara murka dalam keadaan hina
dan tunduk pada kekuatan pengaruhnya.”
Sedangkan Sayyid Ja‘far Al-Barzanji pun menuturkannya dengan amat indah:
“Nabi SAW lahir ke dunia dalam keadaan meletakkan kedua
tangannya ke tanah seraya mengarahkan wajahnya ke arah langit yang tinggi.
Sebagai pertanda yang menunjukkan ketinggian kedudukan dan akhlaqnya. Dan
sebagai isyarat yang menunjukkan bahwa derajatnya berada di atas semua
makhluk.
Dialah kekasih Allah yang memiliki watak dan perangai
yang terbaik. Ibu beliau memanggil Abdul Muththalib, yang sedang melakukan
thawaf di Ka‘bah (untuk menyaksikan bayi yang baru dilahirkan). Abdul
Muththalib pun segera datang dan langsung melihat si bayi dengan hati yang
meluap penuh dengan rasa gembira.
Abdul Muththalib membawa si bayi ke dalam Ka‘bah yang
cemerlang, lalu berdiri seraya berdoa dengan hati tulus ikhhlas. Ia bersyukur
kepada Allah atas karunia yang telah diberikan kepadanya. Nabi SAW dilahirkan
dalam keadaan bersih (dari kotoran), telah dikhitan dan terpotong pusarnya,
berkat kekuasaan Ilahi.
Tubuhnya sudah dilumuri minyak dan wewangian, serta
matanya telah bercelak, berkat kekuasaan Allah. Menurut suatu pendapat, beliau
dikhitan oleh kakeknya sesudah genap berusia tujuh hari.
Sang kakek mengadakan walimah akikah dan memberi makan
(orang-orang miskin) lalu memberinya nama ‘Muhammad’ dan menempatkannya pada
kedudukan yang terhormat.
Pada hari kelahirannya banyak terjadi hal yang
bertentangan dengan hukum alam dan peritiwa-peristiwa aneh yang penuh misteri.
Hal tersebut merupakan pertanda bagi kenabiannya dan sebagai pemberitahuan
bahwa ia adalah manusia yang terpilih oleh Allah dan sebagai kekasih-Nya.
Lalu pintu langit diperketat penjagaannya dan semua
iblis dan makhluk setan yang jahat diusir darinya. Bintang-bintang yang menyala
siap merajam setiap setan yang terlaknat bila hendak naik ke langit (untuk
mencuri-curi pendengaran dari pembicaraan para malaikat).
Bintang gemintang nan gemerlapan mendekat kepadanya
sebagai tanda penghormatan. Hingga terang benderang jurang dan bebukitan di
negeri Al-Haram. Bersamaan dengan kelahirannya keluarlah cahaya yang sinarnya
menerangi istana-istana kekaisaran di negeri Syam. Sehingga istana-istana itu
terlihat oleh semua orang yang tinggal dan bermukim di Lembah Makkah. Dan
gedung Iwan (balai pertemuan) Kaisar Persia retak dan terbelah. Yaitu istana
yang dibangun oleh Anu Syarwan dengan kokoh dan megah. Dan runtuhlah sebanyak
empat belas tiang yang ada di bagian atas bangunannya. Peristiwa tersebut
membuat Kisra, raja Persia, merasa ngeri dan takut. Dan padamlah api sesembahan
Kerajaan Persia karena cahaya kelahirannya yang muncul dari nur wajah Nabi SAW.
Danau Sawah, yang terletak di antara Hamadzan dan Qum
di negeri Persia, mengalami kekeringan. Danau itu menjadi kering, karena
sumber air, yang biasanya melimpah, saat itu tidak lagi memancarkan airnya.
Sementara itu Lembah Samawah, yaitu lembah yang terletak di Gurun Sahara, nan
jauh dari keramaian, tiba-tiba mengeluarkan sumber air yang melimpah ruah.
Padahal sebelum itu tiada suatu genangan air pun untuk minum musafir yang kehausan.”
Lebih Utama dari Lailatul Qadar
Syaikh
Yusuf As-Sayyid Hasyim Ar-Rifa‘i, dalam kitabnya ar-Radd al-Muhkam
al-Mani‘ ‘ala Munkarat wa Syubahat Ibn Mani‘ fi Tuhmatih ‘ala As-Sayyid
Muhammad ‘Alwi Al-Maliki Al-Makki, menukilkan penjelasan Imam Al-Hafizh
Al-Qasthalani, dalam kitabnya Al-Mawahib, beliau berkata, “Bila engkau
berkata ‘Jika Nabi SAW dilahirkan pada malam hari, manakah yang lebih utama,
malam Lailatul Qadar atau malam Maulid Nabi SAW?’, aku jawab bahwa malam Maulid
Nabi SAW lebih utama daripada malam Lailatul Qadar, dari tiga segi:
Pertama, malam Maulid Nabi SAW adalah malam kemunculan beliau
SAW, sedangkan malam Lailatul Qadar adalah malam anugerah bagi beliau SAW. Dan
apa yang dimuliakan dengan kemunculan dzat yang dimuliakan karena dzatnya
pastilah lebih mulia dari apa yang dimuliakan dengan sebab sesuatu yang dianugerahkan
kepadanya, dan tidak ada penentangan dalam hal ini. Karenanya malam Maulid
Nabi SAW lebih utama dari i’tibar ini.
Kedua, malam Lailatul Qadar dimuliakan dengan turunnya
para malaikat padanya, sedangkan malam Maulid Nabi SAW dimuliakan dengan kemunculan
beliau SAW pada malam itu. Dan Nabi SAW, yang dengan beliau dimuliakan malam
Maulidnya, lebih mulia dari para malaikat, yang dimuliakan dengan mereka malam
Lailatul Qadar atas pendapat yang paling shahih. Karenanya malam Maulid Nabi
SAW lebih utama.
Ketiga, anugerah malam Lailatul Qadar diberikan hanya kepada
umat Nabi Muhammad SAW, sedangkan anugerah malam Maulid Nabi SAW diperuntukkan
kepada seluruh makhluk. Allah mengutus beliau SAW sebagai rahmat bagi alam
semesta sehingga anugerah itu meliputi bagi seluruh makhluk Allah SWT.
Karenaya anugerah malam Maulid Nabi SAW lebih umum dan meliputi dibandingkan
dengan malam Lailatul Qadar.
Dalam
kitab at-Tahdzir min al-Ightirar ma Ja’a fi Kitab al-Hiwar , karya
Syaikh Abdul Hayyi Al-‘Umrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad, dinukilkan ungkapan
Syaikh Al-Khathib Al-Haj Ar-Rihal Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Marzuq, dalam
kitabnya Jana al-Jannatain fi Tafdhil al-Lailatain, yang terhimpun dalam
kitab Al-Mi‘yar al-Mu‘arrab wa al-Jami‘ ‘an Fatawi Ahl Afriqiyyah wa
Al-Andalus wa Al-Maghrib, juz 11, halaman 280, 1401H/1984 M, tentang keutamaan
malam Maulid Nabi SAW di atas keutamaan malam Lailatul Qadar. Syaikh
Al-Khathib Muhammad Marzuq menjelaskan, keutamaan malam Maulid Nabi SAW
melebihi keutamaan malam Lailatul Qadar dipandang dari dua puluh aspek, yakni:
Pertama, kemuliaan itu adalah ketinggian
dan keagungan, dan keduanya itu adalah nisbah yang disandangkan. Dan kemuliaan
tiap-tiap malam adalah berdasarkan pada sesuatu yang menjadikannya mulia.
Malam Maulid Nabi SAW mulia dengan kelahiran sebaik-baik makhluk Allah SWT.
Maka tetaplah bahwa kemulian malam Maulid Nabi SAW berdasarkan i‘tibar ini.
Kedua, malam Maulid Nabi SAW adalah
malam kemunculan Nabi SAW, sedangkan malam Lailatul Qadar adalah anugerah yang
diberikan Allah SWT kepada Nabi SAW. Maka sudah pasti sesuatu yang dimuliakan
dengan sebab munculnya dzat mulia (Nabi SAW) lebih utama daripada malam yang
dimuliakan dengan sebab anugerah yang diberikan kepada dzat mulia itu. Dan
tidak ada bantahan terhadap hal itu. Sehingga dengan i’tibar ini malam Maulid
Nabi SAW lebih mulia daripada malam Lailatul Qadar.
Ketiga, malam Lailatul Qadar merupakan
salah satu anugerah seseorang, yang menjadikan malam Maulid dimuliakan karena
kelahirannya, dari berbagai anugerah dan keistimewaan-keistimewaan yang
diberikan kepada beliau yang tiada terhitung jumlahnya. Maka tentulah sesuatu
yang dimuliakan dengan salah satu kekhususan-kekhususan dari seseorang yang
telah dianugerahi kemuliaan mutlak tidak akan menempati kedudukan sesuatu
yang dimuliakan dengan wujud pemilik anugeran kemuliaan mutlak tersebut.
Sehingga nyatalah bahwa malam Maulid Nabi SAW lebih mulia berdasarkan i’tibar
ini, dan inilah yang dituntut.
Keempat, malam Lailatul Qadar dimuliakan
berdasarkan apa-apa yang dikhususkan padanya dan akan berakhir dengan
berakhirnya malam itu hingga akan terulang lagi pada tahun berikutnya, menurut
pendapat yang paling kuat dari dua pendapat. Sedangkan malam Maulid Nabi SAW
dimuliakan dengan seseorang yang senantiasa nyata jejak-jejaknya dan terang
benderang cahayanya untuk selama-lamanya pada setiap bagian zaman hingga
berakhirnya usia dunia.
Kelima, malam Lailatul Qadar dimuliakan
dengan turunnya para malaikat pada malam itu, sedangkan malam Maulid Nabi SAW
dimuliakan dengan munculnya Nabi SAW. Dan seseorang yang dimuliakan dengannya
malam Maulid adalah paling muliannya makhluk, di antara para malaikat,
yang dimuliakan dengan mereka malam Lailatul Qadar. Karenanya malam Maulid
Nabi SAW lebih utama dari segi ini.
Keenam, pengutamaan (al-afdhaliyah)
merupakan ungkapan yang menunjukkan kelebihan keutamaan pada sesuatu yang
diutamakan. Dan dua malam tersebut, keduanya, memiliki kesamaan dalam
keutamaan dengan turunnya para malaikat pada keduanya sebagaimana diketahui.
Hanya saja malam Maulid Nabi SAW disertai dengan munculnya makhluk paling mulia
SAW, maka malam Maulid Nabi SAW lebih diutamakan dari sudut pandang ini.
Ketujuh, malam Lailatul Qadar dimuliakan
dengan turunnya para malaikat dan berpindahnya mereka dari tempat ketinggian
mereka menuju bumi, sedangkan malam Maulid Nabi SAW dimuliakan dengan wujud
dan munculnya Nabi SAW yang sesungguhnya. Dan sesuatu yang dimuliakan dengan
wujud dan kemunculan lebih utama dari sesuatu yang dimuliakan dengan sebab
perpindahan.
Kedelapan, malam Lailatul Qadar diutamakan
dengan berdasarkan amal yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat amal
perbuatan padanya, yang, jika diandaikan seluruh penduduk bumi berbuat amal
kebajikan pada malam itu, niscaya tidak akan pernah menyamai kedudukan wujud
yang dengannya dimuliakan malam Maulid dan tidak pula menyamai amal beliau
meski hanya dalam sesaat sekalipun amal itu beliau lakukan pada selain malam
Lailatul Qadar. Maka tetaplah keutamaan malam Maulid dibanding malam Lailatul
Qadar dari i’tibar ini.
Kesembilan, malam Lailatul Qadar dimuliakan
karena dijadikan sebagai anugerah bagi umat Nabi Muhammad SAW sebagai
perhatian Allah bagi beliau SAW, sedangkan malam Maulid Nabi SAW dimuliakan
dengan wujud seseorang yang mana malam Lailatul Qadar dianugerahkan kepada
umatnya. Maka malam Maulid lebih utama.
Kesepuluh, pada malam Lailatul Qadar
keutamaanya teruntukkan bagi umat Nabi SAW, sedangkan pada malam Maulid Nabi
SAW keutamaannya teruntukkan bagi seluruh makhluk, dan dialah yang diutus
sebagai rahmat bagi alam semesta. Allah SWT berfirman, “Dan tiadalah kami
mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta.” -- QS
Al-Anbiya (21): 107. Nikmat Allah meliputi semua makhluk dengan wujud beliau
SAW. Manfaat Maulid Nabi SAW lebih umum dan lebih luas dibandingkan dengan
manfaat malam Lailatul Qadar dari sisi ini, karenanya malam Maulid Nabi SAW
lebih utama.
Kesebelas, malam Maulid Nabi SAW diutamakan
atas malam-malam lainnya dari seluruh malam sepanjang tahun dengan kelahiran
Nabi SAW. Kita katakan tentangnya “Malam Maulid Nabi Muhammad
SAW”, yang penyandarannya pada Nabi (kemuliaan khusus); sedangkan pada malam Lailatul
Qadar, kita katakan “lailatul qadar”, dan “al-qadar” sendiri maknanya
kemuliaan (kemuliaan umum). Penyandaran terhadap malam Maulid Nabi
SAW merupakan penyandaran pengkhususan dan penyandaran ini lebih utama dan
lebih mendalam maknanya dibandingkan dengan penyandaran terhadap kemuliaan
secara umum, yakni lailatut taqdir (malam kemuliaan). Penyandaran
kata lailatun (malam) kepada al-qadr (kemuliaan), meskipun
hal itu termasuk kemestian dari malam itu sendiri, penggunaan ungkapan ini
pada malam Maulid sebagai malam kemuliaan dalam pengertian secara umum tidaklah
dapat disanggah. Karenanya tetaplah keutamaan malam Maulid Nabi SAW atas
malam Lailatul Qadar.
Kedua belas, pada malam Lailatul Qadar
keutamaan bagi orang yang berbuat amal padanya terhitung hanya pada malam itu,
karenanya manfaat dan kebaikannya terbatas. Sedangkan malam Maulid Nabi SAW,
manfaat dan kebaikannya terus-menerus tiada batasannya. Dan sesuatu yang
manfaat dan kebaikannya tiada batasannya lebih utama dari selainnya.
Ketiga belas, malam Lailatul Qadar tetap
keutamaannya dengan apa yang telah disebutkan sebelumnya, hanya saja datang
padanya sesuatu dari kebalikannya berdasarkan saat datang dan perginya malam
itu sekalipun dilipatgandakan nilai pahalanya. Adapun malam Maulid Nabi SAW,
kemuliannya tiada berakhir. Karenanya malam Maulid Nabi SAW lebih utama dari
i’tibar ini.
Keempat belas, yang dituntut adalah bahwa
malam Maulid lebih utama. Dasar yang menunjukkan hal itu, kita katakan bahwa
masa yang dimuliakan dengan lahirnya Nabi SAW dan penyandarannya kepada Nabi
SAW, serta diistimewakannya dengan hal itu, ia menjadi masa yang paling utama.
Hal tersebut dikiaskan dengan diutamakannya tempat yang diistimewakan dengan
Nabi SAW dan dengan disemayamkannya beliau padanya atas sekalian tempat
seluruhnya, secara ijma’. Dengan dasar ini, masa yang diistimewakan dengan
kelahiran beliau SAW adalah masa yang paling utama dari selainnya.
Kelima belas, malam Lailatul Qadar merupakan
cabang dari tampaknya wujud Nabi SAW, dan cabang tidak akan menyamai kekuatan
dasarnya. Maka malam Maulid lebih utama atas Lailatul Qadar dengan i’tibar ini.
Keenam belas, pada malam Maulid Nabi SAW
terdapat limpahan nur Ilahiah yang meliputi semua wujud, yang wujud limpahan
nur Ilahiah itu mengiringi wujud Nabi SAW. Dan itu tidak pernah terjadi selain
terhadap hakikat yang keutamaannya menyebabkan keutamaan bagi selainnya.
Ketujuh belas, malam Maulid Nabi SAW
merupakan malam ketika Allah SWT menampakkan berbagai asrar wujud Nabi SAW, yang
mana kebahagian ukhrawi tergantung padanya secara mutlak. Dengan asrar itu
menjadi nyata dan jelas semua hakikat. Dengannya terbedakan antara yang hak dan
yang bathil, menjadi jelas segala apa yang Allah nyatakan dalam wujud dari
cahaya-cahaya kebahagiaan dan jalan kebenaran, menjadi nyata perbedaan antara
golongan ahli surga dari golongan ahli neraka, menjadi nyata dan menjulang
tinggi kebenaran agama dan menjadi gelap gulita kekufuran dan hina dina, serta
lain dari semua itu dari wujud asrar-asrar Ilahiah yang terdapat pada semua
makhluk-Nya dan yang terdapat pada ayat-ayat-Nya. Dan semua itu tidaklah
pernah ada pada malam selainnya dari malam-malam sepanjang masa. Maka jelaslah
paling utamaannya malam Maulid dengan i’tibar ini.
Kedelapan belas, adalah dalil cabang yang
menjadi dasar dalam masalah ini meskipun maknanya sama dengan sebelumnya.
Yakni kita katakan, “Bila saja malam Maulid Nabi SAW tidaklah lebih mulia dan
lebih utama daripada malam Lailatul Qadar, hal itu akan melahirkan salah satu
kemestian dari berbagai kemestian, yaitu: adakalanya kemestian melebihkan
keutamaan para malaikat di atas Nabi SAW, atau melebihkan keutamaan amal yang
dilipatgandakan pahalanya di atas beliau SAW, atau menyamakannya. Dan ketiga
hal itu dilarang. Adapun yang pertama adalah berdasarkan nash shahih, sedangkan
yang kedua dan ketiga berdasarkan kesepakatan para ulama.”
Kesembilan belas, masa yang paling utama adalah
masa kelahiran Nabi SAW, dan tidak ada sesuatu pun dari masa Maulid Nabi SAW
terdapat pada malam Lailatul Qadar, maka tidak ada sesuatu pun dari paling
utamanya masa pada malam Lailatul Qadar. Dan ini kebalikan dari ucapan kita,
“Tidak ada sesuatu pun dari malam Lailatul Qadar pada malam yang paling utama.”
Dan argumen ini membatalkan dakwaan orang-orang yang menentang dalam masalah
ini.
Mengingat
begitu agungnya keutamaan-keutamaan yang ada pada hari Maulid Nabi SAW dan bulan
Rabi’ul Awwal, bulan kelahiran beliau, para ulama muhaqqiqin menganjurkan
kepada umat Islam untuk memperbanyak melakukan berbagai amal kebajikan padanya.
Syaikh
Ibnul Hajj, dalam kitab Al-Madkhal, menuturkan, “Adalah wajib hukumnya
pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal untuk menambahkan dari berbagai ibadah dan
kebaikan sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT atas anugerah agung ini (Maulid
Nabi SAW) yang telah dilimpahkan kepada kita. Dan bila Nabi SAW tidak
menambahkan sesuatu pada hari ini dari bentuk-bentuk ibadah di atas hari-hari
lainnya, hal itu tidak lain adalah karena rahmat beliau SAW terhadap umatnya
dan kasih sayang terhadap mereka. Karena sesungguhnya Nabi SAW meninggalkan
dari melakukan suatu amal karena dikhawatirkan akan diwajibkan terhadap umatnya,
sebagaimana Allah SWT berfirman mensifati Nabi SAW, "... Pemaaf dan penyayang kepada orang-orang mukmin." --
QS At-Tawbah (9):128.
Akan
tetapi, Nabi SAW telah memberikan petunjuk dan isyarat tentang keutamaan bulan
yang agung ini. Beliau SAW bersabda, “Itulah hari aku dilahirkan.” Maka
kemuliaan hari kelahiran beliau mengandung pula kemuliaan bulan ketika beliau
dilahirkan. Itulah sebabnya, kita patut menghormatinya dengan penghormatan
yang sesungguhnya dan mengutamakannya dengan pengutamaan yang Allah berikan
terhadap bulan-bulan mulia. Karena bulan ini, Rabi’ul Awwal, yang adalah bulan
Nabi, termasuk di antara bulan-bulan mulia itu, berdasarkan sabda Nabi SAW, “Akulah
penghulu anak Adam, dan bukanlah hal itu untuk di bangga-banggakan”, dan sabda
beliau SAW, “Adam dan selainnya berada di bawah benderaku.”
Keutamaan
yang ada pada suatu masa atau tempat tertentu yang Allah khususkan padanya
dengan berbagai bentuk ibadah yang dilakukan padanya sesungguhnya tidaklah
dimuliakan karena dzatnya, melainkan dengan apa-apa yang dikhususkan padanya.
Karenanya,
coba perhatikan dan lihatlah apa yang telah Allah khususkan pada bulan Rabi’ul
Awwal dan hari Senin. Tidakkah kita mengetahui bahwa puasa pada hari Senin
memiliki keutamaan yang agung, karena Nabi SAW dilahirkan pada hari itu?
Berdasarkan
semua itu, patutlah ketika datang bulan yang agung ini kita memuliakannya,
mengagungkannya, dan menghormatinya dengan penghormatan dan pengagungan yang
sepatutnya. Dan hal itu adalah dengan cara berittiba‘ kepada Rasulullah SAW,
beliau senantiasa mengkhususkan pada waktu-waktu utama untuk memperbanyak dan
menambahkan amal-amal kebajikan dan kebaikan di dalamnya.
EmoticonEmoticon