Begini nafkah suami terhadap istri menurut islam.


Nafkah menjadi wajib atas seseorang karena tiga hal berikut:
1. Karena kekerabatan, karenanya seorang ayah wajib menafkahi anak-anaknya selagi belum baligh, atau tidak mampu, atau jika anaknya gila. Sebaliknya, seorang anak juga wajib menafkahi kedua orangtua, serta kakek dan neneknya, yang tak mampu.
2.  Karena perkawinan, karenanya seorang suami wajib menafkahi istrinya yang tidak durhaka kepadanya.
3. Karena kepemilikan, karenanya pemilik budak wajib memberi makan, minum, dan keperluan budaknya. Begitu pula wajib atas seseorang yang memilki hewan ternak maupun piaraan untuk memberi makan dan minum hewan piaraannya tersebut.

Menafkahi anak dan istri adalah tanggung jawab seorang suami, dan karena itulah seorang suami disebut pemimpin dalam keluarga. Nafkah yang dimaksud di sini meliputi sandang, pangan, dan papan, yang menjadi kebutuhan anak dan istri.

Waktu Kewajiban Memberi Nafkah kepada Istri
Kewajiban seorang suami dalam menafkahi istrinya dimulai bukan sejak terlaksananya akad nikah, melainkan semenjak tamkin si istri, yaitu jika sang istri telah menyerahkan dirinya kepada sang suami untuk disetubuhi, baik dengan perkataan, misalnya, “Kapan pun aku siap melayanimu.” Atau dengan perbuatan, misalnya dengan pasrahnya si istri tatkala suaminya menghampirinya untuk bersenang-senang dengannya. Jika si istri menolak ajakan suami setelah akad, belum wajib atas suami menafkahinya hingga si istri menuruti kemauan suami tersebut.
Kewajiban memberi nafkah seorang suami adalah pada setiap hari ketika fajar telah menyingsing, maka setiap kali itu pula seorang suami harus menyediakan nafkah istrinya pada hari itu.

Kadar Nafkah yang Diwajibkan
Mengenai kadar nafkah yang diwajibkan atas suami ditentukan sesuai kondisi ekonomi si suami, yaitu:
  • Suami yang kaya, yaitu mereka yang pemasukannya melebihi pengeluarannya. Misalnya suami berpenghasilan Rp 150.000 atau lebih sedangkan yang dibutuhkan Rp 100.000, maka golongan ini wajib memberi nafkah kepada istrinya sebanyak 2 mud (1 1/4 kg) beras dan lauk pauknya.
  • Suami yang sederhana, yaitu mereka yang pemasukan dan pengeluarannya sama jumlahnya, alias pas-pasan, maka mereka wajib memberi nafkah istrinya sebanyak  1 1/2 mud (9,375 ons) beras dan lauk pauknya.
  • Suami yang miskin, yaitu yang pengeluarannya lebih banyak dari pemasukannya, dengan kata lain pemasukannya tidak dapat menutupi kebutuhannya, misalnya kebutuhannya Rp 50.000 tapi yang didapat hanya Rp 40.000 atau kurang dari itu, maka mereka wajib memberi nafkah istrinya sebanyak 1 mud (6,25 ons) beras dan lauk pauknya.

Suami boleh memberikan uang untuk dibelanjakan istrinya atau si suami yang membelikan barang-barang kebutuhan istrinya tersebut.
Sedangkan nafkah yang wajib disediakan suami untuk istrinya secara terperinci meliputi hal-hal berikut: Beras (ukurannya tergantung kondisi ekonomi suami seperti diterangkan di atas), lauk pauk (selayaknya), sandang (pakaian lengkap, luar dan dalam, yang layak pada musim panas dan dingin), papan (rumah yang pantas sebagai tempat tinggalnya, baik milik suami maupun sewaan), tempat duduk, ranjang serta kasur dan selimutnya, alat-alat makan dan minum (piring, gelas, dsb.), alat-alat memasak (kompor, panci, dsb.), alat-alat kecantikan (sabun, sampo, bedak, lipstik, dsb.), dan seorang pembantu (jika diperlukan dan sang suami termasuk mampu menyediakannya).
Perlu diketahui, kadar dan nilai nafkah yang tertera di atas tergantung pada kemampuan ekonomi masing-masing suami. Jika seorang suami tidak mampu memberi nafkah istrinya walaupun dengan nafkah yang diwajibkan atas suami yang miskin: 
  • Jika istri sabar dengan  kondisi tersebut, kewajiban memberi nafkah kepada istrinya itu tetap wajib dan menjadi utang suami tersebut kepada istrinya yang dibayar ketika mampu.
  • Jika istri tidak sabar dengan keadaan suaminya itu, boleh baginya mengadukannya ke pengadilan agama atau KUA setempat. Selanjutnya pihak KUA atau pengadilan agama memberi kesempatan kepada suami untuk memenuhi kewajiban nafkah istrinya tersebut. Jika sudah berlalu waktu yang ditentukan sedangkan suaminya tetap tidak juga memberi nafkah istrinya, boleh bagi istri untuk memfasakh (membatalkan) nikahnya dengan suaminya tersebut.

Dasarnya adalah seperti yang terjadi pada seorang sahabat perempuan yang bernama Hindun binti Utbah yang mengadu kepada Nabi SAW karena kesulitannya mendapatkan nafkah untuk dirinya dan anak-anaknya karena kekikiran suaminya. Nabi SAW bersabda kepadanya:

خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف   (متفق عليه)

“Ambillah dari hartanya kadar yang mencukupimu serta anak-anakmu dengan baik tanpa berlebihan.” (muttafaq ‘alaih).

Sedangkan mengenai biaya obat dan dokter bukan tanggungan suami, memang ada ulama yang berpendapat demikian. Akan tetapi, semestinya suami juga tahu bahwa memasak makanannya, mencuci pakaiannya, dan mengurusi pekerjaan rumah itu bukan kewajiban istri, tapi seharusnya suami yang melakukan itu untuk istri atau menyewa seorang pembantu untuk melaksanakannya.
Andaipun seorang suami berpendapat biaya pengobatan bukan menjadi kewajibannya, namun hendaknya dia menyediakan biaya tersebut sebagai balasan kebaikan istri terhadapnya. Apalagi banyak pula ulama yang berpendapat bahwa biaya dokter juga termasuk nafkah yang diwajibkan. Di samping itu hendaknya suami menyadari bahwa kebaikan-kebaikan yang diberikan seorang suami kepada istrinya termasuk sedekah yang paling besar pahalanya. Nabi SAW bersabda:

دينارا أنفقته في سبيل الله و دينارا أنفقته في رقبة و دينارا تصدقت به على مسكين و دينارا أنفقته على اهلك أعظمها اجرا الذي أنفقته على اهلك (رواه مسلم)

“Satu dinar yang engkau infaqkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau infaqkan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan untuk seorang miskin, dan satu dinar yang engkau infaqkan untuk keluargamu, maka yang paling besar pahalanya adalah yang engkau infaqkan untuk keluargamu.” (HR Muslim).
Hendaknya kita sama mengingat bahwa sikap kita terhadap keluarga kita merupakan barometer baik-tidaknya kita di sisi Allah SWT, sebagaimana sabda Nabi SAW:

خيركم خيركم لأهله و انا خيركم لأهلي (رواه الترمذي)

“Yang paling baik di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku.” (HR At-Turmudzi).


Sumber: http://alhabibsegafbaharun.com


EmoticonEmoticon